Senin, 23 November 2015

Analisis Pendekatan Sosiologi Novel (Siti Nurbaya) karya Marah Roesli



1.      Menganalisis Novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dengan pendekatan Sosiologi sastra yaitu:
a.       Konteks sosial pengarang
b.      Sastra sebagai cerminan masyarakat
c.       Fungsi sosial karya sastra
2.         Memberikan penilaian terhadap novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dari sudut pandang persektivisme


1.        Analisis Novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dengan pendekatan sosiologi:
a.       Kontek sosial pengarang
Marah Roesli lahir 7 Agustus 1889 di Minangkabau. Ia putra dari Demang Sultan Abubakar, bergelar Sultan Pangeran dari kota Padang. Menempuh pendidikan Sekolah Melayu (1904), Sekolah Raja (1910) di Bukittinggi, Sekolah Dokter Hewan (1915) di Bogor, dan Fakultas Kedokteran Hewan di Semarang. Setelah berpindah-pindah bekerja di beberapa tempat, pada tahun 1929-1945 ia bekerja di Semarang sebagai dokter hewan. Sejak tahun 1951 pensiun di Bogor dan menyumbangkan tenaganya di Balai Pendidikan Ternak. Ia termasuk pelopor dalam kesusastraan baru Indonesia.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Roesli dikenal sebagai Bapak Roman Modern Indoensia. Bahkan roman Siti Nurbaya mendapatkan hadiah tahunan dalam bidang sastra dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan dalam bahasa Rusia. Ia menyerukan emansipasi wanita lewat sastra. Kisah Siti Nurbaya masih melekat di ingatan masyarakat hingga kini.
b.      Satra sebagai cerminan masyarakat
Di dalam novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) terdapat beberapa cerminan kehidupan masyarakat yang dapat dipertimbangkan baik buruknya, dintaranya:
Ø  Mencerminkan kehidupan masyarakat yang sangat mementingkan derajat yang tinggi, terlihat pada kutipan:
“Sampai sekarang aku belum mengerti, bagaimana pikiranmu tatkala mengawini perempuan itu. Apanya yang kau pandang? Bagusnya itu saja? Apa gunanya beristri bagus, kalau bangsa tak ada, serdadu Belanda bagus juga, tetapi siapa yang suka menjemputnya?”
Ø  Mencerminkan bahwa perempuan pada saat itu di nikahkan pada usia yang masih sangat muda yaitu sekitaran 12, 13 dan 14 tahun, terlihat pada kutipan:
“Wahai, kasihan Anakku! Celaka benar untungnya. Sudah tiada diindahkan oleh mamandanya, jodohnya pun tak dapat pula dicarikannya. Anak orang umur 12 atau 13, setua-tuanya umur 14 tahun, telah dikawinkan, tetapi anakku hampir beruban masih perawan juga. Kalau masih hidup ayahnya, tentulah tiada akan dibiarkannya anaknya sedemikian ini, walaupun akan digadaikannya kepalanya.”
Ø  Mencerminkan kehidupan masyarakat yang dengan mudahnya meninggalkan pasangannya karena uang, terlihat pada kutipan:
“Apabila mentua hamba tidak cakap atau tiada sudi lagi membelanjai hamba, hamba ceraikan anaknya dan hamba kawini perempuan lain, yang mampu, tentu dapat hamba uang jemputan dua tiga ratus rupiah. Dan berisilah pula kocek hamba.”
Ø  Mencerminkan tentang kehidupan masyarakat yang suka beristri banyak, terlihat pada kutipan:
“Sesungguhnya hal itu telah lama menjadi buah pikiran hamba dan orang lain pun, sedang penghulu-penghulu yang lain empat istrinya, beliau itu hanya seorang saja. Kurang patut rupanya bagai orang besar seperti tuanku itu, jawab Juara Lintau”
Ø  Mencerminkan pengorbanan seorang anak perempuan kepada orang tuanya, terlihat dalam kutipan:
“Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak, Jangan penjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Maringgi!”
Ø  Mencerminkan tentang adat di Padang dimana perempuan yang harus memberikan uang kepada laki-laki jika hendak menikah (uang panaik dalam bahasa bugis), terlihat dalam kutipan:
“Suatu lagi yang tak baik, kata Ahmad Maulana, sedang senyumnya hilang dari bibirnya, perkawinan itu dipandang sebagai perniagaan. Di negeri lain, perempuan yang dijual kepada laki-laki, artinya si laki-laki harus memberi uang kepada si perempuan, akan tetapi di sini, laki-laki dibeli oleh perempuan, sebab perempuan memberikan uang kepada laki-laki. Oleh sebab adat yang sedemikian, laki-laki dan perempuan hanya diperhubungkan oleh tali uang saja atau karena keinginan kepada keturunan yang baik, sekali-sekali tidak dipertalikan oleh cinta dan kasih sayang.”
c.       Fungsi Sosial Karya Sastra
§  Fungsi perombakan masyarakat atau sosial
Ø  Memberikan masyarakat sebuah gambaran tentang anak perempuan yang dinikahkan pada usia muda akan berdampak negatif bagi anak itu sendiri, dan sudah seharusnya setiap orang tua memberikan kebebasan kepada anaknya untuk memilih pasangan hidupnya kelak, kalaupun hendak dijodohkan anaknya sebaiknya orang tua tersebut terlebih dahulu memberitahu anaknya apakah setuju atau tidak.
Ø  Memberikan masyarakat sebuah gambaran bahwa bukan hanya laki-laki yang berhak perpendidikan tinggi tetapi juga perempuan.
Ø  Membuka pikiran masyarakat yang berpendapat bahwa perempuan bersekolah yang pandai membaca dan menulis kelak akan menjadi seseorang jahat padahal pada kenyataannya tidak seperti itu.
Ø  Perombakan tentang adat dimana perempuanlah yang harus menyerahkan sejumlah uang kepada laki-laki apabila hendak menikah, padahal seharusnya laki-laki yang memberikan uang kepada perempuan.
Ø  Memberikan masyarakat gamabaran tentang ketamakan yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri.
Ø  Memberikan cerminan kepada masyarakt bahwa seharusnya pernikahan itu dilakukan karena cinta dan kasih sayang bukan karena uang ataupun perniagaan.
Ø  Memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa memiliki istri banyak  lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya.
§  Fungsi karya sastra sebagai hiburan
Novel Sitti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) karya satra klasik dari Marah Roesli ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat di Padang tepatnya di Minangkabau, membuat pembaca banyak mengetahui tentang adat dan budaya yang ada disana.
Novel tersebut menggambarkan tentang kehidupan Stti Nurbaya yang terpaksa kawin karena harus membayar utang bapanya, Sutan Sulaiman. Kisah dalam novel tersebut menarik perhatian pembaca kerena perkawinan yang terpaut usia yang sangat jauh yaitu perkawinan Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgi dan juga susah ditebak akhir dari dari cerita tersebut sehingga membuat pembaca selalu ingin tau bagaimana akhirnya. Dan menurut saya hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca.

2.    Menilai novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dari sudut pandang persektivisme:

Cerita pada Novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) karya Marah Roesli, banyak mengambil adat dan budaya dari Padang, seperi seorang perempuan tak perlu berpendidikan tinggi karena ditakutkan kelak akan menjadi orang yang jahat padahal pada kenyataannya tidak seperti itu tetapi sekarang pendidikan antara perempuan dan laki-laki sudah setara tanpa perbedaan.
Juga dalam hal menikahkan anak perempuan di usia yang masih sangat muda yaitu sekitaran 12 sampai 14 tahun karena takut anaknya menjadi perawan tua dan pada kenyataanya sekarang sudah jarang ditemukan orang tua yang menikahkan anaknya pada usia seperti itu karena sekarang perempuan sudah banyak yang berpendidikan kalaupun ada biasanya perempuan itu sudah berusia 18 tahun keatas. Juga kisah tentang perempuan memberikan uang kepada laki-laki jika hendak menikah, hal tersebut masih berlaku sampai sekarang tetapi tidak sebanyak dulu.


Taufik Ismail (Kembalikan Indonesia Padaku)



Puisi Kembalikan Indonesia Padaku (Taufik Ismail)
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku

Selasa, 23 Juni 2015


Saudara B14S ku :)
MENANTI IBA PENYAMBUNG HIDUP
Matahari belum sepenuhnya keluar dari persembunyiannya setelah semalam penuh kehadirannya digantikan oleh sang rembulan, tetapi rutinitas Muhammad Saleh telah dimulai semenjak azan subuh berkumandang di mesjid yang tak jauh dari rumahnya. Beliau memulai harinya dengan selalu bersujud di hadapan sang pencipta, memohon petunjuk atas semua masalah dan keluh kesahnya juga tak lupa memohon agar rezekinya hari ini diperlancar
Mentari perlahan mulai keluar dan memancarkan cahaya kehidupan untuk semua makhluk hidup dibumi begitu juga untuk Muhammad saleh dan istrinya Rosmini. Mereka berdua bekerja untuk menghidupi ketiga anaknya yang masih menduduki bangku sekolah. Muhammad Saleh sehari-hari mencari rezeki dengan menunggu belas kasihan setiap orang yang lewat didepannya. Setiap harinya beliau duduk bersila menunggu seseorang dengan rasa iba dan memberikan sejumlah rupiah untuknya. Meminta-minta menjadi satu-satunya  pilihan ketika fisiknya yang cacat sudah tak mampu mengerjakan apa-apa lagi. Muhammad Saleh mengalami cacat karena beberapa tahun lalu kaki kirinya diamputasi karena terlambat mendapat pengobatan medis juga salah satu faktornya karena biaya. Sebelum kakinya diamputasi Muhammad Saleh sempat bekerja menjadi tukang becak dan tukang parkir bahkan sempat menjadi guru mengaji di desanya, sedangkan istrinya Rosmini bekerja sebagai penyapu jalanan.
Hari ini seperti biasanya Muhammad Saleh bangun lebih awal kemudian membangunkan istri dan anak-anaknya untuk menunaikan sholat berjamaah. Hari mereka selalu selalu dimulai dengan bersujud dihadapan sang khalik.
“bu bangun sudah waktunya sholat subuh jangan lupa bangunkan juga anak-anak” katanya kepada sang istri
“Iya pak bapak ambil wudhu duluan” jawab sang istri
Kemudian mereka meninggalkan tempat tidur yang hanya beralas tikar yang sudah berpuluh tahun mereka gunakan. Muhammad Saleh menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu sedangkan Rosmini menuju kamar anaknya untuk dibangunkan agar ikut sholat berjamaah bersama mereka. Anak mereka sebenarnya ada lima tetapi karena dua anak sulung mereka perempuan dan keduanya telah berkeluarga ikutlah mereka dengan suami mereka masing-masing, sedangkan tiga anaknya yang masih tinggal bersama mereka yaitu Irwan anak ketiga dan telah duduk dibangku kelas 2 SMA, yang keempat Mirna yang dekat-dekat ini akan menginjakkan kaki di dunia putih abu-abu dan yang sulung Adi kelas 5 SD.
“anak-anak bangun sudah waktunya sholat subuh bapak sudah menunggu” ujar Rosmini segera membangunkan ketiga anaknya.
Mirna dan Adi segera bergegas bangun meninggalkan tempat tidur mereka, dan anaknya yang paling susah dibangunkan yaitu Irwan. Rosmini harus berulang kali membangunkannya baru Irwan meninggalkan tempat tidur.
Hidup mereka sangat sederhana rumah petak yang mereka tinggali juga hanya disewa itupun sudah dikurangi harganya oleh sang pemilik karena merasa iba kapada keluarga Muhammad Saleh.
Setelah semua selesai mengambil air wudhu, sholat berjamaah pun dilaksanakan. Selesai sholat semuanya bergegas ke kegiatan masing-masing, ketiga anaknya bergantian mandi untuk bersiap-siap ke sekolah sedangkan Rosmini menyiapkan sarapan ala kadarnya yaitu ubi rebus dan teh manis hangat itupun tak setiap hari kadang ada kadang pula mereka tidak sarapan. Muhammad Saleh juga telah menyiapkan papan menyerupai bangku yang dimodifikasi dengan empat roda dibawahnya yang bisa membawanya pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Setelah semuanya siap mereka sarapan bersama dengan makanan seadanya tapi kebersamaan itu sungguh menghangatkan keluarga mereka. Saat sarapan tiba-tiba tukang bentor langganan Muhammad Saleh datang untuk menjemputnya dan mengantar Muhammad Saleh ke tempat biasanya beliau menunggu rezekinya.
“Kalau begitu bapak berangkat duluan yah, tukang bentornya sudah datang tidak enak kalau membuat orang menunggu terlalu lama” ujar Muhammad saleh kepada istri dan anak-anaknya
Kemudian Muhammad Saleh meninggalkan rumah paling awal. Tak lama setelah Muhammad saleh meninggalkan rumah ketiga anaknya juga berpamitan untuk menuju kesekolah mereka masing-masing, terkeuali Adi yang berangkat kesekolah bersama dengan ibunya karena arah sekolah dan tempat kerja ibunya searah.
Setelah hampir lima belas menit melewati jalanan kota yang mulai macet karena aktivitas seluruh penduduknya, akhirnya Muhammad Saleh sampai di tempat biasanya menjemput rezeki. Setiap harinya beliau hanya bisa seperti ini menunggu dan menunggu belas kasihan setiap orang yang lewat didepannya. Hampir setiap hari pula Muhammad Saleh mendapat cibiran dan cemohan dari sebagian orang yang ditemuinya, tapi hal tersebut tak pernah beliau masukkan dalam hatinya karena beliau sadar bahwa kekurangannya memang tak bisa disembunyikan didepan orang banyak. Setiap harinya Muhammad Saleh bisa memdapatkan uang seratus ribu rupiah dan paling sedikit yaitu enam puluh ribu rupiah, uang tersebut tentunya masih jauh dari kata cukup untuk kehidupan sehari-harinya belum lagi uang makan dan untuk uang anak-anaknya tetapi mereka sekeluarga selalu mensyukuri seberapapun nikmat yang diperoleh.
Saat waktu sholat tiba tak pernah Muhammad Saleh meninggalkan sholat walaupun dengan keadaan terbatas beliau selalu berusaha menjalankannya.
Pada suatu waktu, di saat waktu sholat dzuhur Muhammad Saleh terjatuh dari tempat duduk rodanya, beliau tak bisa bergerak hampir semua orang hanya melihatinya karena padatnya jalan raya tapi ada satu orang yang berbesar hati menolongnya dan membantu beliau kembali naik duduk di papan rodanya.
“bapak kenapa bisa sampai terjatuh” ujar seseorang yang menolongnya
“ini tadi ada batu terus jalannya berlubang jadi papan roda saya terbalik dan saya tidak bisa mengendalikannya lagi” jelas Muhammad Saleh kepada orang tersebut
“lain kali hati-hati pak apalagi ini dipinggir jalan banyak kendaraan yang bisa saja mencelakai bapak” tambah si penolong
Kemudian Muhammad Saleh berterimah kasih kepada orang  yang telah menolongnya, bahkan orang tersebut tidak hanya menolong Muhammad Saleh kembali ke papan rodanya tetapi juga memberikan sejumlah uang karena merasa iba melihat Muhammad Saleh yang dengan segala kekurangannya masih tetap berusaha untuk mencari nafkah demi keluarganya. Orang tersebut seperti malaikat bagi Muhammad Saleh. Dengan segala kesenangan hati beliau melanjutkan perjalanannya menuju ke mesjid untuk menunaikan ibadan sholat dzuhur, tak lupa beliau bersyukur atas rezekinya hari ini.
Setelah selesai sholat, Muhammad Saleh kembali ketempat biasanya, kembali menunggu rezekinya datang. Begitu yang beliau lakukan berjam-jam tanpa lelah duduk menunggu. Saat waktu sholat tiba beliau selalu bergegas meninggalkan tempatnya.
Muhammad Saleh biasanya kembali ke rumah di saat sore menjelang magrib, sebelum pulang pun biasanya selalu saja ada masalah yang dihadapinya seperti keterlambatan bentor langganannya datang sehingga beliau kembali harus menunggu kadang kala beliau harus menunggu sampai magrib bahkan pernah juga beliau menunggu sampai isya. Tapi Muhammad Saleh tidak pernah marah dengan keadaan tersebut, beliau selalu berfikir positif
“mungkin saja dijalan sedang macet” ujarnya dalam hati.
Kadang juga ada preman  yang memalaki, sungguh tak berhati preman tersebut.

Sesampainya di rumah Muhammad Saleh disambut dengan penuh kehangatan oleh istri dan anaknya. Setelah membersihkan diri dari debu yang seharian penuh menempel dibadan beliau dan keluarga makan malam bersama kembali dengan makanan seadanya tapi dengan rasa syukur semuanya terasa nikmat. 

Senin, 22 Juni 2015

PERKEMBANGAN MAKNA
A. Perluasan Makna
                Perluasan makna terjadi pada kata-kata  antara lainsaudara, bapak, ibu; dahulu digunakan untuk menyebut orang yang seketurunan (sedarah) dengan kita. Kata saudara dihubungkan dengan kakak atau adik yang seayah dan seibu. Kata bapak  selalu dihubungkan dengan orangtua laki-laki, dan kata ibu dengan orangtua perempuan. Sekarang ketiga kata tersebut pemakaiannya telah meluas maknanya. Kata bapak digunakan kepada setiap laki-laki yang tua, meskipun tidak ada pertalian darah dengan kita; kata saudara digunakan untuk mereka yang sepaya dengan pembicara; dan kata ibu digunakan untuk perempuan tua, meskipun tidak ada pertalian darah.
                Perluasan makna dapat pula dengan menambah unsur lain, misalnya kata kepala (dahulu bagian badan sebelah atas). Sekarang maknanya meluas, misalnya kepala bagian, kepala sekolah, kepala kantor pos, kepala rumah sakit, suster kepala (untuk membedakan dari kepala suster). Makna kepala pada bentuk-bentuk tersebut masih tampak, yakni berasosiasi dengan atas, sebab kepala di dalam konstruksi tersebut menunjukkan orang yang memiliki jabatan tertinggi (atas, pemimpin).
                Kata kemudi yang dahulu bermakna “alat untuk meluruskan jalanya kapal atau perahu”, sekarang muncul frase mengemudikan perusahaan (negara), mengemudikan pesawat.
Pada kata benih yang selalu dihubungkan dengan masalah pertanian (bibit) benih padi, benih jagung, dan sebagainya; sekarang muncul benih persengketaan, benih perkara, benih kesengsaraan, yang maknanya “sumber” (bibit).
Kata memancing yang semula lebih dihubungkan dengan kegiatan menangkap ikan, sama dengan “mengail” , sekarang muncul ekspresi memancing kerusuhan, memancing perkelahian, dan sebagainya. Maknanya masih memiliki hubungan dengan memancing (mencoba-coba membandingkan).
B. Pembatasan Makna
                Makna kata dapat mengalami pembatasan, atau makna yang dimiliki terbatas dibandingkan dengan makna semula. Kata dengan bentukan baru hanya mengacu kepada benda atau peristiwa yang terbatas (khusus). Bandingkanlah :
1)      Ahli
2)      Ahli penyakit
3)      Ahli kebidanan
4)      Ahli sejarah
5)      Ahli bahasa
Kita mengetahui bahwa makna ahli semula “anggota keluarga” , “orang yang termasuk di dalam satu garis keturunan” , ditambah unsur lain maknanya menjadi terbatas atau menyempit.
Kata sastra di dalam bahasa Sansekerta memiliki makna yang luas, tetapi di dalam bahasa Indonesia sekarang makna kata sastra hanya dihubungkan dengan karangan-karangan yang bernilai keindahan yang dapat mengugah perasaan.Demikian juga bila kita lihat kata lain, seperti :
1)      Merawat, bukan hanya pekerjaan yang berlaku bagi lingkungan rumah sakit, di rumah sendiri pun dikatakan dirawat (bagi orang sakit), dan berlaku pula merawat rumah, merawat bayi, merawat ayam (meskipun tidak sakit). Tetapi, kata perawat masih memiliki makna terbatas di rumah sakit, yang bermakna “orang yang merawat yang sakit” , merawat memiliki arti yang luas.
2)      Tukang, memiliki makna yang luas “ahli” atau “bisa mengerjakan sesuatu” , maknanya menjadi terbatas dengan munculnya unsur pembatas, seperti pada tukang kayu, tukang catut, tukang tambal ban, dan seterusnya.
3)      Skripsi, semula memiliki makna luas “semua tulisan tangan” , sekarang maknanya terbatas (menyempit) menjadi “tulisan (mahasiswa) yang disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar”.
C. Pergeseran Makna
                Makna berkembang dengan melalui perubahan, perluasan, penyempitan, atau pergeseran. Pergeseran makna terjadi pada kata-kata (frase) bahasa Indonesia yang disebut eufemisme (melemahkan makna). Caranya dapat dengan mengganti simbolnya(kata, frase) dengan yang baru dan maknanya bergeser, biasanya terjadi bagi kata-kata yang dianggap memiliki makna yang menyinggung perasaan orang yang mengalaminya.
Perhatikan contoh berikut :
1.       Dipecat, dirasakan terlalu keras, dengan demikian muncul diberhentikan dengan hormat atau dipensiunkan.
2.       Sogok menyogok, dirasa terlalu mencolok mata, oleh karena itu muncul pungli (pungutan liar), menyalahgunakan wewenang, komersialisasi jabatan, upeti, dan seterusnya.
Pergeseran makna terjadi di dalam bentuk imperatif seperti pada segera laksanakan yang bergeser maknanya menjadi harap dilaksanakan atau mohon dilaksanakan, terjadi eufemisme. Pergeseran makna terjadi pada kata-kata atau frase yang bermakna terlalu menyinggung perasaan orang yang mengalaminya, oleh karena itu kita tidak mengatakan orang sudah tua di depan meraka yang sudah tua bila dirasakan menyinggung perasaan yang bersangkutan, maka muncullah orang lanjut usia. Demikian pula terjadi pergeseran makna pada kata-kata atau frase berikut :
1.       Tuna netra (buta)
2.       Tuna rungu (tuli)
3.       Tuna wisme (gelandangan)
4.       Tuna susila (pelacur)
5.       Cacat mental (orang gila)

Pemakain bahasa dalam hal ini selalu memanfaatkan potensinya untuk memakai semua unsur yang terdapat di dalam bahasanya. Pemakain bahasa berusaha agar kawan bicara tidak terganggu secara psikologis, oleh karena itu muncul pergeseran makna . Dikatakan  pergeseran makna bukan pembatasan makna, karena dengan penggantian lambang (simbol) makna semula masih berkaitan erat tetapi ada makna tambahan (eufemisme) menghaluskan (pertimbangan akibat psikologis bagi kawan bicara atau orang yang mengalami makna yang diungkapkan kata atau frase yang disebutkan).