1. Menganalisis
Novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dengan pendekatan Sosiologi sastra yaitu:
a.
Konteks sosial
pengarang
b.
Sastra sebagai
cerminan masyarakat
c.
Fungsi sosial
karya sastra
2.
Memberikan penilaian terhadap novel Siti
Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dari sudut pandang persektivisme
1.
Analisis Novel
Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dengan pendekatan sosiologi:
a.
Kontek sosial
pengarang
Marah Roesli lahir 7
Agustus 1889 di Minangkabau. Ia putra dari Demang Sultan Abubakar, bergelar
Sultan Pangeran dari kota Padang. Menempuh pendidikan Sekolah Melayu (1904),
Sekolah Raja (1910) di Bukittinggi, Sekolah Dokter Hewan (1915) di Bogor, dan
Fakultas Kedokteran Hewan di Semarang. Setelah berpindah-pindah bekerja di
beberapa tempat, pada tahun 1929-1945 ia bekerja di Semarang sebagai dokter
hewan. Sejak tahun 1951 pensiun di Bogor dan menyumbangkan tenaganya di Balai
Pendidikan Ternak. Ia termasuk pelopor dalam kesusastraan baru Indonesia.
Dalam sejarah sastra
Indonesia, Marah Roesli dikenal sebagai Bapak Roman Modern Indoensia. Bahkan
roman Siti Nurbaya mendapatkan hadiah tahunan dalam bidang sastra dari pemerintah
Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan dalam bahasa Rusia. Ia
menyerukan emansipasi wanita lewat sastra. Kisah Siti Nurbaya masih melekat di
ingatan masyarakat hingga kini.
b.
Satra sebagai
cerminan masyarakat
Di dalam novel Siti
Nurbaya (Kasih Tak Sampai) terdapat beberapa cerminan kehidupan masyarakat yang
dapat dipertimbangkan baik buruknya, dintaranya:
Ø Mencerminkan kehidupan masyarakat yang sangat
mementingkan derajat yang tinggi, terlihat pada kutipan:
“Sampai sekarang aku belum mengerti,
bagaimana pikiranmu tatkala mengawini perempuan itu. Apanya yang kau pandang?
Bagusnya itu saja? Apa gunanya beristri bagus, kalau bangsa tak ada, serdadu
Belanda bagus juga, tetapi siapa yang suka menjemputnya?”
Ø Mencerminkan bahwa perempuan pada saat itu di
nikahkan pada usia yang masih sangat muda yaitu sekitaran 12, 13 dan 14 tahun,
terlihat pada kutipan:
“Wahai, kasihan Anakku! Celaka benar
untungnya. Sudah tiada diindahkan oleh mamandanya, jodohnya pun tak dapat pula
dicarikannya. Anak orang umur 12 atau 13, setua-tuanya umur 14 tahun, telah
dikawinkan, tetapi anakku hampir beruban masih perawan juga. Kalau masih hidup
ayahnya, tentulah tiada akan dibiarkannya anaknya sedemikian ini, walaupun akan
digadaikannya kepalanya.”
Ø Mencerminkan kehidupan masyarakat yang dengan
mudahnya meninggalkan pasangannya karena uang, terlihat pada kutipan:
“Apabila mentua hamba tidak cakap atau
tiada sudi lagi membelanjai hamba, hamba ceraikan anaknya dan hamba kawini
perempuan lain, yang mampu, tentu dapat hamba uang jemputan dua tiga ratus
rupiah. Dan berisilah pula kocek hamba.”
Ø Mencerminkan tentang kehidupan masyarakat yang suka
beristri banyak, terlihat pada kutipan:
“Sesungguhnya hal itu telah lama menjadi
buah pikiran hamba dan orang lain pun, sedang penghulu-penghulu yang lain empat
istrinya, beliau itu hanya seorang saja. Kurang patut rupanya bagai orang besar
seperti tuanku itu, jawab Juara Lintau”
Ø Mencerminkan pengorbanan seorang anak perempuan
kepada orang tuanya, terlihat dalam kutipan:
“Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke
dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku
dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu
berteriak, Jangan penjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Maringgi!”
Ø Mencerminkan tentang adat di Padang dimana perempuan
yang harus memberikan uang kepada laki-laki jika hendak menikah (uang panaik dalam bahasa bugis), terlihat
dalam kutipan:
“Suatu lagi yang tak baik, kata Ahmad
Maulana, sedang senyumnya hilang dari bibirnya, perkawinan itu dipandang
sebagai perniagaan. Di negeri lain, perempuan yang dijual kepada laki-laki,
artinya si laki-laki harus memberi uang kepada si perempuan, akan tetapi di
sini, laki-laki dibeli oleh perempuan, sebab perempuan memberikan uang kepada
laki-laki. Oleh sebab adat yang sedemikian, laki-laki dan perempuan hanya
diperhubungkan oleh tali uang saja atau karena keinginan kepada keturunan yang
baik, sekali-sekali tidak dipertalikan oleh cinta dan kasih sayang.”
c.
Fungsi Sosial
Karya Sastra
§ Fungsi perombakan masyarakat atau sosial
Ø Memberikan masyarakat sebuah gambaran tentang anak
perempuan yang dinikahkan pada usia muda akan berdampak negatif bagi anak itu
sendiri, dan sudah seharusnya setiap orang tua memberikan kebebasan kepada
anaknya untuk memilih pasangan hidupnya kelak, kalaupun hendak dijodohkan
anaknya sebaiknya orang tua tersebut terlebih dahulu memberitahu anaknya apakah
setuju atau tidak.
Ø Memberikan masyarakat sebuah gambaran bahwa bukan
hanya laki-laki yang berhak perpendidikan tinggi tetapi juga perempuan.
Ø Membuka pikiran masyarakat yang berpendapat bahwa
perempuan bersekolah yang pandai membaca dan menulis kelak akan menjadi
seseorang jahat padahal pada kenyataannya tidak seperti itu.
Ø Perombakan tentang adat dimana perempuanlah yang
harus menyerahkan sejumlah uang kepada laki-laki apabila hendak menikah,
padahal seharusnya laki-laki yang memberikan uang kepada perempuan.
Ø Memberikan masyarakat gamabaran tentang ketamakan
yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri.
Ø Memberikan cerminan kepada masyarakt bahwa
seharusnya pernikahan itu dilakukan karena cinta dan kasih sayang bukan karena
uang ataupun perniagaan.
Ø Memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa memiliki
istri banyak lebih banyak dampak negatif
daripada dampak positifnya.
§ Fungsi karya sastra sebagai hiburan
Novel Sitti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) karya satra
klasik dari Marah Roesli ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat di
Padang tepatnya di Minangkabau, membuat pembaca banyak mengetahui tentang adat
dan budaya yang ada disana.
Novel tersebut menggambarkan tentang kehidupan Stti
Nurbaya yang terpaksa kawin karena harus membayar utang bapanya, Sutan
Sulaiman. Kisah dalam novel tersebut menarik perhatian pembaca kerena
perkawinan yang terpaut usia yang sangat jauh yaitu perkawinan Siti Nurbaya
dengan Datuk Maringgi dan juga susah ditebak akhir dari dari cerita tersebut
sehingga membuat pembaca selalu ingin tau bagaimana akhirnya. Dan menurut saya
hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca.
2.
Menilai novel
Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dari sudut pandang persektivisme:
Cerita pada Novel Siti
Nurbaya (Kasih Tak Sampai) karya Marah Roesli, banyak mengambil adat dan budaya
dari Padang, seperi seorang perempuan tak perlu berpendidikan tinggi karena
ditakutkan kelak akan menjadi orang yang jahat padahal pada kenyataannya tidak
seperti itu tetapi sekarang pendidikan antara perempuan dan laki-laki sudah
setara tanpa perbedaan.
Juga dalam hal
menikahkan anak perempuan di usia yang masih sangat muda yaitu sekitaran 12
sampai 14 tahun karena takut anaknya menjadi perawan tua dan pada kenyataanya
sekarang sudah jarang ditemukan orang tua yang menikahkan anaknya pada usia
seperti itu karena sekarang perempuan sudah banyak yang berpendidikan kalaupun
ada biasanya perempuan itu sudah berusia 18 tahun keatas. Juga kisah tentang
perempuan memberikan uang kepada laki-laki jika hendak menikah, hal tersebut
masih berlaku sampai sekarang tetapi tidak sebanyak dulu.
