Senin, 23 November 2015

Analisis Pendekatan Sosiologi Novel (Siti Nurbaya) karya Marah Roesli



1.      Menganalisis Novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dengan pendekatan Sosiologi sastra yaitu:
a.       Konteks sosial pengarang
b.      Sastra sebagai cerminan masyarakat
c.       Fungsi sosial karya sastra
2.         Memberikan penilaian terhadap novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dari sudut pandang persektivisme


1.        Analisis Novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dengan pendekatan sosiologi:
a.       Kontek sosial pengarang
Marah Roesli lahir 7 Agustus 1889 di Minangkabau. Ia putra dari Demang Sultan Abubakar, bergelar Sultan Pangeran dari kota Padang. Menempuh pendidikan Sekolah Melayu (1904), Sekolah Raja (1910) di Bukittinggi, Sekolah Dokter Hewan (1915) di Bogor, dan Fakultas Kedokteran Hewan di Semarang. Setelah berpindah-pindah bekerja di beberapa tempat, pada tahun 1929-1945 ia bekerja di Semarang sebagai dokter hewan. Sejak tahun 1951 pensiun di Bogor dan menyumbangkan tenaganya di Balai Pendidikan Ternak. Ia termasuk pelopor dalam kesusastraan baru Indonesia.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Roesli dikenal sebagai Bapak Roman Modern Indoensia. Bahkan roman Siti Nurbaya mendapatkan hadiah tahunan dalam bidang sastra dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan dalam bahasa Rusia. Ia menyerukan emansipasi wanita lewat sastra. Kisah Siti Nurbaya masih melekat di ingatan masyarakat hingga kini.
b.      Satra sebagai cerminan masyarakat
Di dalam novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) terdapat beberapa cerminan kehidupan masyarakat yang dapat dipertimbangkan baik buruknya, dintaranya:
Ø  Mencerminkan kehidupan masyarakat yang sangat mementingkan derajat yang tinggi, terlihat pada kutipan:
“Sampai sekarang aku belum mengerti, bagaimana pikiranmu tatkala mengawini perempuan itu. Apanya yang kau pandang? Bagusnya itu saja? Apa gunanya beristri bagus, kalau bangsa tak ada, serdadu Belanda bagus juga, tetapi siapa yang suka menjemputnya?”
Ø  Mencerminkan bahwa perempuan pada saat itu di nikahkan pada usia yang masih sangat muda yaitu sekitaran 12, 13 dan 14 tahun, terlihat pada kutipan:
“Wahai, kasihan Anakku! Celaka benar untungnya. Sudah tiada diindahkan oleh mamandanya, jodohnya pun tak dapat pula dicarikannya. Anak orang umur 12 atau 13, setua-tuanya umur 14 tahun, telah dikawinkan, tetapi anakku hampir beruban masih perawan juga. Kalau masih hidup ayahnya, tentulah tiada akan dibiarkannya anaknya sedemikian ini, walaupun akan digadaikannya kepalanya.”
Ø  Mencerminkan kehidupan masyarakat yang dengan mudahnya meninggalkan pasangannya karena uang, terlihat pada kutipan:
“Apabila mentua hamba tidak cakap atau tiada sudi lagi membelanjai hamba, hamba ceraikan anaknya dan hamba kawini perempuan lain, yang mampu, tentu dapat hamba uang jemputan dua tiga ratus rupiah. Dan berisilah pula kocek hamba.”
Ø  Mencerminkan tentang kehidupan masyarakat yang suka beristri banyak, terlihat pada kutipan:
“Sesungguhnya hal itu telah lama menjadi buah pikiran hamba dan orang lain pun, sedang penghulu-penghulu yang lain empat istrinya, beliau itu hanya seorang saja. Kurang patut rupanya bagai orang besar seperti tuanku itu, jawab Juara Lintau”
Ø  Mencerminkan pengorbanan seorang anak perempuan kepada orang tuanya, terlihat dalam kutipan:
“Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak, Jangan penjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Maringgi!”
Ø  Mencerminkan tentang adat di Padang dimana perempuan yang harus memberikan uang kepada laki-laki jika hendak menikah (uang panaik dalam bahasa bugis), terlihat dalam kutipan:
“Suatu lagi yang tak baik, kata Ahmad Maulana, sedang senyumnya hilang dari bibirnya, perkawinan itu dipandang sebagai perniagaan. Di negeri lain, perempuan yang dijual kepada laki-laki, artinya si laki-laki harus memberi uang kepada si perempuan, akan tetapi di sini, laki-laki dibeli oleh perempuan, sebab perempuan memberikan uang kepada laki-laki. Oleh sebab adat yang sedemikian, laki-laki dan perempuan hanya diperhubungkan oleh tali uang saja atau karena keinginan kepada keturunan yang baik, sekali-sekali tidak dipertalikan oleh cinta dan kasih sayang.”
c.       Fungsi Sosial Karya Sastra
§  Fungsi perombakan masyarakat atau sosial
Ø  Memberikan masyarakat sebuah gambaran tentang anak perempuan yang dinikahkan pada usia muda akan berdampak negatif bagi anak itu sendiri, dan sudah seharusnya setiap orang tua memberikan kebebasan kepada anaknya untuk memilih pasangan hidupnya kelak, kalaupun hendak dijodohkan anaknya sebaiknya orang tua tersebut terlebih dahulu memberitahu anaknya apakah setuju atau tidak.
Ø  Memberikan masyarakat sebuah gambaran bahwa bukan hanya laki-laki yang berhak perpendidikan tinggi tetapi juga perempuan.
Ø  Membuka pikiran masyarakat yang berpendapat bahwa perempuan bersekolah yang pandai membaca dan menulis kelak akan menjadi seseorang jahat padahal pada kenyataannya tidak seperti itu.
Ø  Perombakan tentang adat dimana perempuanlah yang harus menyerahkan sejumlah uang kepada laki-laki apabila hendak menikah, padahal seharusnya laki-laki yang memberikan uang kepada perempuan.
Ø  Memberikan masyarakat gamabaran tentang ketamakan yang pada akhirnya akan merugikan diri sendiri.
Ø  Memberikan cerminan kepada masyarakt bahwa seharusnya pernikahan itu dilakukan karena cinta dan kasih sayang bukan karena uang ataupun perniagaan.
Ø  Memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa memiliki istri banyak  lebih banyak dampak negatif daripada dampak positifnya.
§  Fungsi karya sastra sebagai hiburan
Novel Sitti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) karya satra klasik dari Marah Roesli ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat di Padang tepatnya di Minangkabau, membuat pembaca banyak mengetahui tentang adat dan budaya yang ada disana.
Novel tersebut menggambarkan tentang kehidupan Stti Nurbaya yang terpaksa kawin karena harus membayar utang bapanya, Sutan Sulaiman. Kisah dalam novel tersebut menarik perhatian pembaca kerena perkawinan yang terpaut usia yang sangat jauh yaitu perkawinan Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgi dan juga susah ditebak akhir dari dari cerita tersebut sehingga membuat pembaca selalu ingin tau bagaimana akhirnya. Dan menurut saya hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca.

2.    Menilai novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) dari sudut pandang persektivisme:

Cerita pada Novel Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai) karya Marah Roesli, banyak mengambil adat dan budaya dari Padang, seperi seorang perempuan tak perlu berpendidikan tinggi karena ditakutkan kelak akan menjadi orang yang jahat padahal pada kenyataannya tidak seperti itu tetapi sekarang pendidikan antara perempuan dan laki-laki sudah setara tanpa perbedaan.
Juga dalam hal menikahkan anak perempuan di usia yang masih sangat muda yaitu sekitaran 12 sampai 14 tahun karena takut anaknya menjadi perawan tua dan pada kenyataanya sekarang sudah jarang ditemukan orang tua yang menikahkan anaknya pada usia seperti itu karena sekarang perempuan sudah banyak yang berpendidikan kalaupun ada biasanya perempuan itu sudah berusia 18 tahun keatas. Juga kisah tentang perempuan memberikan uang kepada laki-laki jika hendak menikah, hal tersebut masih berlaku sampai sekarang tetapi tidak sebanyak dulu.


Taufik Ismail (Kembalikan Indonesia Padaku)



Puisi Kembalikan Indonesia Padaku (Taufik Ismail)
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,
yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bolayang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam
dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan-pelan tenggelam
lantaran berat bebannya kemudian angsa-angsa berenang-renang di atasnya,
Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,
dan di dalam mulut itu ada bola-bola lampu 15 wat,
sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Hari depan Indonesia adalah angsa-angsa putih yang berenang-renang
sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam
dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan,
Kembalikan
Indonesia
padaku
Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam
dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,
Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam
karena seratus juta penduduknya,
Hari depan Indonesia adalah bola-bola lampu 15 wat,
sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,
Kembalikan
Indonesia
padaku